IKLAN ATAS

Pendapat Goenawan Muhamad Tentang: Dana Hibah Kebudayaan



Trotoarnews.co.id - Kesenian adalah bidang kehidupan yang salah dibayangkan. Coba saja sebut kata “kesenian” di depan pejabat, birokrat,  pebisnis, cendekiawan, ulama, polisi, militer, hansip, calon mertua, dll. Mereka akan langsung menghubungkannya dengan sinetron, tari untuk acara agustusan, musik macam K-Pop, wayang kulit, lukisan Basuki Abdullah — pendeknya, campuran hiburan, turisme, dan cari nafkah.

Para birokrat, pemimpin perusahaan dan dosen mungkin pernah dengar Rendra, Affandi, dan sesekali diajak nonton teater karya sutradara Slamet Rahardjo.  Tapi hampir pasti mereka tak pernah tahu bagaimana sebuah sajak diterbitkan, sebuah pameran diadakan dan sebuah pementasan lakon atau tari disiapkan. Mereka tak akan tahu tenaga, energi, dan dana yang dikeluarkan untuk itu.   Mereka tak tahu bahwa maestro tari topeng Cirebon, Ibu Rasinah, menghabiskan usianya untuk tari itu — seraya hidup terseok-seok.

Mungkin tak terbayangkan, bahwa untuk pementasan  lakon “Amangkurat, Amangkurat”, (saya ambil contoh ini sebab ini yang saya saksikan langsung),perlu latihan beberapa bulan di dua kota,  perlu awak pentas sekitar 25 orang yang tak mudah bertemu,  perlu bikin peralatan panggung (tandu,  kursi, tombak), kostum khusus, dan perlu riset dan rekaman musik. Budget mungkin sekitar 150 juta.  Para aktor, penembang, desainer panggung, perancang pakaian, perias, dapat honor, tapi seadanya. Tak diharapkan akan ada pendapatan dari penjualan tiket. Di Indonesia, tiket masuk nonton teater rata-rata di bawah Rp 100 ribu.  Penonton paling banyak 500 ribu orang. Pemanggungan cuma dua malam.

Tak mengherankan jika kegiatan teater semacam itu dianggap hobby orang-orang nyentrik.
Tapi selama bertahun-tahun, mereka yang mencipta dan bekerja di bidang kesenian sebenarnya memberikan karya-karya yang sangat berharga kepada masyarakat dan kadang-kadang memperkenalkan Indonesia yang tidak norak ke luar negeri. Mereka ibarat membangun dan mengisi lumbung kreatifitas, yang secara langsung atau tak langsung berpengaruh pada bidang lain, di mana hal-hal baru — dalam tampilan, komunikasi dan pemikiran — dibutuhkan.

Pada saat yang sama, mereka harus keluar ongkos dan harus tak berharap bisa hidup dari sana.  Memang di sana-sini ada sponsorship, tapi tak akan memadai.
Dengan kata lain,  kecuali sejumlah perupa yang karyanya bisa dibeli kolektor dengan harga jutaan,  sesungguhnya seni itu merugi. Artinya, selama  bertahun-tahun, para seniman men-subsidi masyarakat, bukan sebaliknya.

Saya berharap kini keadaan akan berubah. Ada optimisme yang berdasar untuk harapan itu.  Kongres Kebuadayan 2018 menandainya.

Saya semula sangat skeptis akan guna Kongres Kebudayaan. Saya hanya pernah ikut sekali, ketika diselenggarakan di Bukiittinggi. Dan benar dugaan saya.  Kongres adalah tempat para “budayawan” (entah apa arti kata ini) omong, omong, omong, nampang, nampang, nampang — lalu pulang.  Tak ada hasilnya yang spesifik. 

Saya juga ikut World Culture Forum yang megah, mewah, mahal di Bali.  Ada pemenang hadiah Nobel untuk ilmu ekonomi yang diundang, juga kolumnis Amerika terkenal, dengan honor yang tinggi.  Tapi kembali nihil hasilnya. Dalam bentuk pertemuan lain pun para “budayawan”, atau “sastrawan”, juga cuma omong, omong, omong, nampang, nampang, nampang — ditambah beberapa variasi pertengkaran, karena dalam forum-forum itu ego menggelembung di sana-sini.

Maka saya utarakan kritik  terbuka terhadap ide penyelenggaraan Kongres Kebudayaan 2018. Juga terhadap ide “Mufakat Budaya”.  Akan lebih mubazir lagi jika kedua rencana itu sama-sama dilakukan; menurut hemat saya, beaya besar buat kedua event itu bisa dimanfaatkan untuk subsidi grup tari, teater, musik eksperimental, sanggar latihan seni rupa dan penerbitan jurnal serta majalah sastra.

Tapi ada salah sangka saya.  Saya tidak tahu bahwa Kongres Kebudayaan 2018 direncanakan berbeda dari kongres sebelumnya sejak 1918. Ditjen Kebudayaan, di bawah Hilmar Farid dan timnya, berniat agar kali ini bukan cuma makalah dan debat yang akan mengisi acara, melainkan juga program kerja nyata dan strategis.  Ada satu seri pertemuan yang mendahului, di pelbagai tempat, mengumpulkan ide untuk yang saya fahami sebagai analisa SWOT:  mendata “kekuatan” (strength), “kelemahan” (weakness), “peluang” (opportunity) dan “ancaman” (threat).  Ketika saya mendengarkan pidato pembukaan Hilmar Farid, saya terkesan:  analisa itu dilakukan, dan kita akan bekerja, tak cuma omong dan berteori.  Lebih penting lagi, kita akan bekerja berdasarkan data atau informasi faktual di lapangan.

Saya mengoreksi pendapat saya semula — meskipun saya hanya datang tiga kali ke Kongres:  waktu pembukaan, penutupan, dan waktu Dr. Chaidir Chatib Basri memaparkan persoalan dana hibah kebudayaan.

Bahwa mantan menteri keuangan dan ekonom terkemuka ini (ia akrab dipanggil “Dede”) yang diminta bicara, itu juga menunjukkan pilihan yang tepat dan bersungguh-sungguh.  Dede bukan ekonom yang cuma paham angka: ia penikmat kesenian dan sastra. Ia juga memahami dua hal:  Pertama, dana hibah pendidikan — yang sejak beberapa tahun ini memberikan beasiswa yang besar bagi lulusan perguruang tinggi untuk belajar di mana saja di luar negeri. Kedua, lembaga dana hibah kebudayaan di AS (the National Endowment of the Arts) dan Australia (Australian Cultural Council).

Dalam paparannya yang jelas dan lengkap, informasi yang dikuasai Dede sangat bermanfaat.  Akhirnya ide dana hibah kebudayaan jadi salah satu resolusi Kongres.
Ide ini sudah lama juga diolah Koalisi Seni yang dimotori Linda Humar dan Abduh, tapi baru kali ini ada sinergi yang cocok antara para aktivis ini dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.  Hasil kerja mereka membuat sejarah baru. Apalagi ketika resolusi Kongres ini dimajukan ke Presiden, Pak Jokowi langsung setuju; bukan saja ia memutuskan akan ada dana 5 trilyun di tahun pertama, tapi berpesan:  pengelolaannya jangan di tangan birokrasi, agar tak terjerat lika-liku peraturan.  (Pak Jokowi sangat sadar tentang ini; ia pernah menyebut ruwetnya “rezim akuntansi”).

Tapi terlalu pagi untuk berharap semuanya lancar. 
Untunglah, Hilmar Farid, bersama Dede Basri, sudah membuat peta: problem mana saja yang akan timbul dan di sisi mana.  Bagaimana stuktur lembaga pengelola dana itu?  Bertanggungjawab dan melapor ke mana? Siapa yang akan memimpin — dan apa kriterianya?  Karena dana 5 triliun itu adalah modal yang akan diinvestasikan dan sumbangan bagi kebudayaan berasal dari bunga atau yield modal  itu, bagaimana memperbesar jumlahnya?  Bagaimana nanti prosedur pencairan yang lancar dan efektif?
Saya belum tahu jawabnya.  Saya hanya tahu, Hilmar dan kawan-kawan tidak main-main dengan langkah strategis ini.  Saya hanya bisa bantu sesekali.  Sebagai perupa baru, saya lebih sibuk menggambar.

Penulis: Adhy Pratama Irianto
Editor: Adhy Pratama Irianto
Powered by Blogger.